Delapan atau Dua Puluh, Jangan Bingungkan Masyarakat Awam!

Delapan atau Dua Puluh, Jangan Bingungkan Masyarakat Awam!

Posted by Unknown Monday, July 7, 2014 0 comments



Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, bulan penuh ampunan dan bulan di mana seluruh ummat muslim mengharamkan yang halal di waktu siang hanya karena Allah. Begitu mulianya bulan Ramdahan ini sampai-sampai ibadah sunnah itu pahalanya disetarakan dengan ibadah wajib. Salah satu kekhususan ibadah sunnah yang tidak ada di bulan-bulan lain adalah shalat sunnah qiamul lail atau yang sudah familiar di telinga masyarakat dengan sebutan shalat tarawih atau taraweh. 

Sekilas saya jelaskan sedikit mengenai tarawih, kata tarawih merupakan bentuk jamak dari tarwihah. Yang berarti istirahat untuk menghilangkan kepenatan, berasal dari kata ar-rahah (rehat) yang berarti hilangnya keletihan dan kesulitan. Mengapa shalat sunnah qiamul lail dinamakan tarawih, awalnya kata tarawihan digunakan untuk majelis secara umum. Kemudian kata itu digunakan untuk menunjukan majelis yang diadakan setelah shalat empat rakaat pada malam-malam bulan Ramadhan. Kemudian shalatnya dinamakan shalat tarawih, alasannya dahulu kaum muslimin suka memanjangkan shalat mereka, kemudian duduk beristirahat setelah empat rakaat, setiap dua rakaat ditutup dengan satu salam. 

Secara singkat saya akan menjelaskan sejarah shalat tarawih dari zaman Rasulullah. Fakta menarik tentang shalat tarawih ini adalah bahwa rasulullah hanya pernah melakukannya secara berjamaah dalam tiga kali kesempatan. Hal ini disebabkan bahwa Rasulullah takut bahwa hal ini akan menjadi diwajibkan bagi umat muslim. Suatu malam di bulan Ramadhan Rasulullah menuju masjid untuk mendirikan shalat malam. Lalu datanglah para sahabat bermakmum di belakangnya, keesokan subuhnya kaum muslimin berbincang mengenai hal tersebut. Malam berikutnya jamaah semakin bertambah hingga malam ke tiga. Pada malam ke empat, masjid menjadi sesak dan tak mampu menampung seluruh jamaah. Namun, Rasulullah tidak kunjung datang ke masjid. Hingga fajar menyingsing Rasululah baru menuju masjid untuk melakukan shalat subuh. Selepas itu beliau berkhutbah “saya telah mengetahui kejadian semalam. Akan tetapi saya kuatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian sehingga kalian tidak mampu melakukannya”.

Semenjak itu pula shalat tarawih dilaksanakan sendiri-sendiri. Kondisi itu berlanjut hingga Rasulullah wafat. Demikian juga, pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhalifahan Umar bin Khatab. Baru pada tahun keempat Hijriah. Umar berinisiatif untuk menjadikan shalat tarawih berjamah dengan satu imam di masjid. Pada saat itu umar menunjuk Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dariy sebagai imamnya kemudian umar berkata “sebaik-baik bid’ah adalah ini”, Wallahu a’lam. 

Di zaman Rasulullah shalat tarawih pada umumnya dikerjakan sebanyak delapan rakaat. Hal ini dikarenakan agar tidak menimbulkan keberatan. Sedangkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab beliau menambah lagi menjadi dua puluh rakaat, karena beliau berpendapat bahwa kaum muslimin di masa itu tidak keberatan lagi untuk melakukannya. Secara umum di Indonesia masyarakat melakukan shalat tarawih sebanyak dua puluh ditambah tiga rakaat untuk witir. Namun tetap ada yang melakukan delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir. 

Demikianlah sejarah singkat mengenai shalat tarawih. Yang menjadi persoalan dalam tulisan ini adalah bermula saat saya mendengar khutbah jum’at pada jumat pertama di bulan Ramdhan ini. Di mana khatib menyoal tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Khatib menyinggung soal orang yang shalat tarawih delapan rakaat itu shalatnya tidak sah. Sangat tidak bijak bagi saya seorang khatib berkhotbah jum’at menyinggung hal ini. Tentu efek dari itu akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat awam yang selama ini shalatnya delapan rakaat. Masalah sah atau tidak sah shalat tarawih ini seharusnya bukan menjadi materi khubat Jum’at karena akan menimbulkan beribu keresahan bagi masyarakat awam.

Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah agar memfasilitasi untuk membuat sebuah ruang diskusi terbuka untuk publik menghadirkan seluruh ulama-ulama yang ada di Aceh untuk aktif dalam diskusi terbuka menerangkan kepada seluruh masyarakat tentang berapa sebenarnya jumlah rakaat yang benar. Tentunya didasarkan atau dikuatkan dengan dalil-dalil yang shahih baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasullullah. Agar tidak lagi ada simpang siur mengenai hal ini dan akhirnya menjadikan perpecahan antara ummat islam itu sendiri. Karena masalah internal kita ini tidak akan selesai jika hal-hal seperti ini tidak kita diskusikan secara terbuka sehingga masyarakat awam tidak lagi terombang-ambing dengan khotbah-khotbah para tengku, ulama, atau ustad-ustad yang berbeda-beda pendapat. yang satu mengatakan begini dan yang satu mengatakan begitu. Apalagi sampai menanamkan rasa antipati terhadap satu amalan tertentu. 

Jika ingin mendapatkan kedamaian maka harus dilakukan dengan segera tentunya diskusi umum. Jika tidak kita ummat muslim akan terus terbelenggu dengan masalah-masalah tata cara ibadah yang membuat kita tidak akan pernah sepaham. Karena sesungguhnya Rasulullah telah bersabda “tidak akan tersesat umat ku jika rujukannya adalah Al-qu’an dan Sunnah ku”. Yang menjadi permasalahan diantara golongan tidak ada yang mau berbesar hati untuk melakukan diskusi publik menjelaskan kepada seluruh masyarakat agar masalah-masalah khilafiah tersebut terselseaikan. Karena sebenarnya masalah terbesar ummat muslim saat ini bukanlah masalah sah atau tidaknya shalat delapan atau dua puluh rakaat. Tapi, yang harus menjadi perhatian bagaimana orang-orang yang belum terbuka hatinya untuk melakukan shalat.

Coba saksikan, kondisi sosial masih banyak oarang-orang yang tidak mengerjakan shalat, malam-malam Ramadhan masih memenuhi warung kopi, waktu-waktu menunggu  berbuka dijadikan ajang maksiat dengan terang-terang laki-laki dan wanita yang bukan mahram berboncengan sangat tidak layak dilihat di depan umum, dan masih banyak lagi fenomena sosial yang butuh perhatian oleh para alim ulama. Nah, sebenarnya ini pekerjaan rumah yang paling berat bukan masalah salah-menyalahkan dalam pelaksanaan ibadah. Ulama Aceh harus lebih peka terhadap kondisi sosial yang sedang terjadi pada masyarakat. Karena sesungguhnya masyarakat sekarang sudah sangat dipengaruhi oleh budaya pop yang semakin hari semakin berbahaya meracuni pikiran-pikiran masyarakat. Maka dari itu masyarakt sangat butuh perhatian dan seharusnya para ulama harus saling bekerja sama dalam mencari solusi masalah sosial yang terjadi sehingga masayarakat tetap memegang kepercayaan terhadap para alim ulama dan tidak lagi kehilangan sosok yang menjadi panutan.

Momentum bulan suci Ramadhan ini sangatlah tepat dijadikan sarana untuk mempersatukan ummat. Agar menjadi satu kesatuan yang kokoh tidak lagi labil sosial apa lagi sampai labil agamanya. Jangan ada yang saling melecehkan, menebarkan aib saudaranya dan membuat fitnah-fitnah. Dalam kehidupan bermasyarakat saja, kita mendambakan kerukunan antar ummat beragama, Apalagi satu agama. Tentunya hal ini sangat menjadi dambaan kita dapat hidup tanpa saling olok memperolokan.


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Delapan atau Dua Puluh, Jangan Bingungkan Masyarakat Awam!
Diposkan oleh Unknown
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://suhermannote.blogspot.com/2014/07/delapan-atau-dua-puluh-jangan.html. Terima kasih sudah mengunjungi dan membaca artikel ini.

0 comments:

Post a Comment